Laman

11 Desember, 2010

KHILAFAH BUKAN SEKEDAR SEJARAH

Tulisan Ahmad Syafii Maarif dalam Resonansi (Republika, Selasa 25 April 2005) menarik untuk dikomentari. Tulisan itu pada intinya mempertanyakan perjuangan penegakan Khilafah Islam yang diusung oleh kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir dengan pendirinya Syekh Taqiyuddin An Nabhani.
Ada beberapa point penting yang perlu untuk didiskusikan bersama dalam diskursus Khilafah Islam. Pertama, adakah dalil syarii tentang kewajiban Khilafah ini. Syafii Maarif menggugat masalah ini dan menganggap pengkaitan Khilafah Islam dengan syarii, jelas berlebihan dan tidak ada pijakan logika Qurani.
Sebelumnya ada yang penting kita luruskan ketika membicarakan dalil syar’i. Yang dimaksud dengan dalil syar’i sesungguhnya bukahlah hanya Al Quran, tetapi juga As Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas. Dalam hal ini Syekh Taqiyuddin an Nabhani telah membahas secara serius dan sungguh-sungguh tentang dalil-dalil syari kewajiban Khilafah ini dalam kitabnya yang monumental An Nidhomul Hukmi fi al Islam (Sistem Pemerintahan Islam ) .
Dalam kitab itu , Syekh Taqiyuddin menyebutkan dalil syari kewajiban khilafah . Berdasarkan Al Quran terdapat secara jelas kewajiban untuk berhukum pada hukum Allah (antara lain dalam QS Al maidah 48-49). Sementara Khilafah Islam adalah institusi negara yang menerapkan syariah (hukum) Islam . Demikian juga kewajiban untuk taat kepada Allah , Rosul dan ulil Amri (QS An Nisa : 59), sementara Khilafah adalah ulil Amri (pemerintahan) yang wajib ditaati.
Kewajiban ini dipertegas oleh As Sunnah antara lain kewajiban membaiat Kholifah dalam hadits yang diriwayatkan dari Nafi yang berkata : Abdullah bin Umar pernah berkata kepadaku : Aku mendengar Rosulullah saw bersabda : …Siapa saja yang mati sedangkan dipundaknya tidak ada baiat maka matinya seperti mati jahiliyah. Sementara baiat dalam konteks kenegaraan hanya diberikan kepada Kholifah.
Dan sesungguhnya pendapat tentang kewajiban ini, bukanlah pendapat baru Syekh Taqiyuddin tapi banyak ulama dan fuqoha . Ibnu Taimiyah dalam as Siasah as Syariyah halaman 161 menulis : Adalah wajib mengangkat pemerintahan (imaroh) sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Imam An Nawawi dalam Syarah Shohih Muslim menulis pada halaman 205 : adalah merupakan kesepakatan (ijma) akan kewajiban kaum muslimin untuk mengangkat Kholifah. Imam Bukhori pun mengumpulkan secara khusus bab tentang Khilafah /pemerintahan ini bab tersendiri yang diberinya nama Kitabul Ahkam . Sementara Imam Muslim memasukkan dalam bab Kitabul Imaroh . Termasuk Ibnu Kholdun sendiri yang banyak dikutip oleh Syafii Maarif menulis dalam Mukaddimah halaman 167 : Sesungguhnya mengangkat Imam adalah perkara wajib yang telah diketahui kewajibannya berdasarkan syari dan ijma sahabat dan tabiin…

Memposisikan Sejarah
Persoalan penting kedua adalah memposisikan khilafah dan sejarah. Khilafah sebagai mana yang diakui oleh Syafii Maarif sendiri adalah fakta sejarah masalah lampau yang benar-benar terjadi. Saya kira ini adalah pengakuan yang jujur dan penting. Mengingat masih banyak cendekiawan muslim yang menolak keberadaan Khilafah ini, hatta sebagai fakta sejarah sekalipun.
Namun sering kali kita keliru menempatkan posisi sejarah dan khilafah ini. Seperti kesan seakan-akan kalau itu adalah sejarah atau peristiwa masa lampau itu berarti tidak wajib. Jelas argumen seperti ini tidak kokoh. Sebab kewajiban sholat sebagai sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Rosulullah saw jelas adalah peristiwa masa lampau, demikian juga kewajiban shaum, zakat dan sebagainya. Sebab Al Quran memang diturunkan dimasa lampau. Tentunya adalah berbahaya kalau kemudian disimpulkan karena perkara itu adalah peristiwa masa lampau, perkara tersebut menjadi tidak wajib. Jangan-jangan Al Quran pun nanti akan kita pertanyakan karena diturunkan dimasa lampau.
Karena itu, untuk menunjukkan apakah perkara itu wajib atau tidak, bukan dilihat dari apakah peristiwa itu terjadi dimasa lampau atau tidak , tapi apakah memiliki landasan syari(Al Quran dan Sunnah ) atau tidak. Sementara khilafah meskipun adalah masa lampau memiliki landasan yang kokoh, dengan demikian hingga sekarang ini khilafah adalah tetap wajib.
Kekeliruan kedua, adalah menolak kewajiban Khilafah karena terjadinya beberapa sejarah kelam di masa Khilafah, terutama yang sering diangkat adalah kasus Muawiyah. Syekh Taqiyuddin dalam kitab Nidhomul Islam (Sistem Islam) secara jernih menjelaskan perkara ini. Menurut nya Khilafah adalah system pemerintahan manusiawi (basyariyah) yang dijalani oleh manusia sebagai pelaku-pelakunya. Karena itu, sangat manusiawi juga kalau pernah dalam sejarah terjadi penyimpangan dari konsep idealnya. Wajar kalau ada kewajiban mengkoreksi Khilafah, karena khilafah mungkin untuk menyimpang. Namun tentu saja, kita tidak bisa menolak kewajiban Khilafah ini dengan berdasarkan adanya penyimpangan dalam sejarah tersebut, sebagaimana penyimpangan yang dilakukan oleh Muawiyah.
Lebih-lebih lagi, kewajiban Khilafah bukan merujuk pada sejarah tapi dalil syari yang meliputi al quran, sunnah, ijma sahabat dan qiyas. Karena itu system Khilafah ideal (secara syarii) yang harus kita rujuk yang sering disebut sebagai Khulafaur-rosyidin, bukan khilafah yang menyimpang.
Memang terjadi beberapa perbedaan dikalangan ulama berkaitan dengan beberapa persoalan yang berhubungan dengan Khilafah ini. Misalnya perbedaan dalam menentukan mana khilafah yang ideal mana yang tidak. Seperti yang dikutip oleh Syafii Maarif pendapat Shah Wali Allah yang mengatakan system khilafah hanya sampai periode Imam Ali, sebagai mana juga pendapat Al Maududi. Demikian juga terjadi beberapa pandangan tentang siapa Kholifah yang sah menurut ulama Sunni maupun Syiah.
Tapi sekali lagi para ulama berbeda pendapat tentang person Kholifahnya, mana yang sesuai dengan syari mana yang tidak, atau mana yang sah dan mana yang tidak. Tapi perlu kita garis bawahi , perbedaan ini bukan berarti ulama tersebut menolak kewajiban system Khilafah ini. Tidak ada dari pernyataan ulama tersebut yang menolak kewajiban system Khilafah.
Sebagaimana terjadi pula berbedaan dalam hal lain seperti syarat Kholifah apakah Quraish atau tidak. Bukanlah berarti bisa dijadikan dalil untuk menolak kewajiban Khilafah. Sama halnya tidak bisa kita menolak kewajiban sholat shubuh karena adanya perbedaan tentang qunut atau tidak. Penting kita perhatikan catatan ulama besar Ibnu Hazm yang menulis dalam Fashlu fil Milal wal Ahwaa wan Nihal halaman 87: telah sepakat seluruh ahlul Sunnah, murjiah, syiah, khawarij akan kewajiban Imamah.
Sebenarnya adanya penyimpangan dan perbedaan ini adalah hal yang lumrah terjadi dalam system apapun yang dijalankan oleh manusia. Termasuk system demokrasi. Tentu saja terdapat perbedaan dalam menentukan mana pemerintahan yang demokratis , mana yang tidak. Terdapat pula perbedaan dalam system pemilu apakah proporsional atau distrik, atau perbedaan apakah kabinet perlementer atau presidensial, termasuk bagaimana memilih presiden langsung atau tidak. Semua perbedaan itu tidak kemudian menunjukkan bahwa system demokrasi itu tidak ada, atau dijadikan argument untuk mengatakan system demokrasi bukan system yang ideal. Wallahualam bisshowab.

Dikutip dari HTI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar